Tuesday, August 25, 2015

Persaingan Televisi Nasional berebut Imej dan Berburu Rating


Tahun 2015 ini memang terbilang menjadi salah satu tahun paling semarak di Indonesia bahkan di dunia. Jika di negara kita sedang diramaikan oleh pesta demokrasi, dari Pemilihan Legislatif hingga Pemilihan Presiden nantinya. Maka seluruh masyarakat duniapun tengah bergembira merayakan pesta sepak bola sejagad yang dilaksanakan oleh FIFA. Kemeriahan-kemeriahan ini pun terpampang jelas dalam berbagai media terutama televisi. ANTV dan TV One tahun ini memanjakan pemirsa pecinta bola dengan menayangkan pertandingan empat tahunan itu secara gratis melalui teresterial. Hak siar FIFA World Cup 2014 yang dimiliki oleh group media VIVA pun serta merta menjadikan kedua stasiun televisi ini meNdapat jumlah penonton yang melimpah. Dalam tiap-tiap pertandingan yang ditayangkan secara langsung, bisa dikatakan semua mata tertuju pada stasiun milik Aburizal Bakrie ini. Secara otomatis, TV One dan ANTV mendapatkan imej sebagai televisi bola untuk tahun 2014.
Kesuksesan program-program acara yang tayang di suatu stasiun televisi memang bisa menciptakan imej baru bagi televisi tersebut. Namun, kebiasaan pelaku media hiburan meniru program-program televisi yang sedang fenomenal menimbulkan persaingan tersendiri untuk mempertahankan imej tertentu. Lalu, jika Antv dan TV One saat ini menjadi televisi bola karena Official Partner dari FIFA World Cup Brazil 2014, bagaimana pula dengan stasiun televisi yang lainnya? Berikut ini persaingan televisi nasional memperebutkan imej.
1. Televisi Dangdut, MNC TV, Trans TV atau Indosiar?
Kesuksesan Trans Tv membangkitkan kembali popularitas lagu-lagu dangdut terbukti melalui program acara YKS yang ditayangkan secara stripping. Kehadiran pesinden serba bisa, Soimah dalam program tersebut sukses me-recover lagu-lagu dangdut koplo kembali popular di telinga masyarakat. Lagu-lagu dangdut era Rhoma Irama, Rita Sugiarto, hingga Elvy Sukaesih pun kembali menjadi akrab ditelinga masyarakat karena dipertontonkan setiap harinya. Saat itu memang dangdut tengah ‘mati suri’ dan hampir tidak ada stasiun televisi yang menayangkan lagu-lagu dangdut. Bahkan MNC TV yang biasanya setia memutar lagu-lagu dangdut merasa ‘ogah’.  Kesempatan ini dimanfaatkan oleh YKS sehingga pecinta lagu dangdut menjadi penonton setia dari acara ini. YKS pun menjadi acara nomor satu di televisi dengan rating dan share yang sangat tinggi setiap harinya. Saat ini tiada hari tanpa dangdut di Trans Tv.

Melihat kesuksesan Trans Tv mengusung lagu dangdut melalui YKS, Indosiarpun membuka audisi untuk acara pencarian bakat dangdut melalui Program Dangdut Academy. Absennya MNC TV menggelar Kontes Dangdut Indonesia (KDI) dimanfaatkan oleh Indosiar untuk merebut gelar sebagai televisi dangdut. Kegagalan-kegagalan Indosiar menyelenggarakan pencarian bakat non-dangdut seperti The Voice, Akademi Fantasi dan Indonesia’s Got Talent sepertinya membuat pihak produksinya untuk mencari Talent Search dari jalur yang berbeda. Dan hasilnya, Indosiar sukses merebut popularitas YKS. Setelah acara ini ditayangkan secara langsung, penonton mulai meninggalkan YKS dan beralih ke Dangdut Academy. Sepanjang episodenya, Dangdut Academy menjadi tontonan dengan rating nomor satu mengalahkan YKS. Kesuksesan Indosiar menggelar acara pencarian bakat dangdut memberikan kesempatan bagi televisi ini menyebut diri sebagai stasiun televisi dangdut. Keseriusan inipun terbukti dengan penyelenggaraan Indonesia Dangdut Awards 2014 yang untuk pertama kalinya dilakukan Indosiar, dimana musis-musis dangdut diapresiasi dengan memberikan piala penghargaan.

Sementara itu, MNC TV tampaknya tak rela imejnya direbut begiu saja oleh Trans Tv ataupun Indosiar. Menyusul Dangdut Academy, MNC TV kembali menyelenggarakan KDI. Sayangnya, walaupun MNC TV yang dulu bernama TPI menjadi pelopor acara dangdut, KDI 2014 tak mampu mengalahkan kepopuleran Dangdut Academy atau YKS. Pecinta dangdut yang dulu menjadi penonton setia MNC TV tampaknya sudah terlanjur beralih ke Indosiar atau Trans Tv. Sejauh ini Indosiar memenangkan persaingan merebut imej sebagai televisi dangdut dari MNC TV.

2. Televisi Sinetron, RCTI atau SCTV?
Berbicara mengenai sinetron, maka kedua stasiun televisi ini merupakan gudangnya. Setiap bulan ada saja sinetron baru yang ditayangkan. Jika RCTI kebanyakan menayangkan sinetron adaptasi dari serial televisi luar negeri, maka SCTV tampaknya lebih tertarik menayangkan cerita asli. Berbagai sinetron-sinetron popular pun muncul dari kedua stasiun ini. Sebut saja,sekarang ini yang sedang tayang dan popular. Tukang Bubur Naik Haji di RCTI dan Emak Ijah Pengen Ke Mekkah di SCTV. Memiliki ide cerita yang hampir sama, kedua stasiun televisi ini bersaing head to head dan berlomba memunculkan segudang pemain pemain papan atas Indonesia. namun untuk tahun ini, SCTV tampaknya memnangkan persaingan sebagai televisi sinetron dengan banyaknya sinetron unggulan yang menarik banyak perhatian masyarakat mengalahkan sinetron-sinetron RCTI. Beberapa diantaranya: Ganteng-Ganteng Serigala, Diam-Diam Suka.

3. Televisi Pemilu, TV One atau Metro Tv?
Kedua stasiun televisi ini memang sejak awal sudah menjadi televisi spesialis berita. Politik, peristiwa, ekonomi, hukum dan sejenisnya menjadi topik pembicaraan sehari-hari di kedua televisi ini. Menjelang Pemilihan Umum, kedua televisi inipun berlomba untuk menjadi pemberita tercepat seputar Pemilihan Umum.  Sayangnya kepemilikan politisi akan kedua televisi ini terkadang memunculkan berita-berita yang tidak berimbang. Mendekati Pemilihan Presiden materi berita dari kedua stasiun televisi inipun terpecah sesuai dukungan Pemiliknya memihak Calon Presiden. Metro Tv lebih condong menayangkan aktivitas Joko Widodo, sebaliknya Tv One lebih tertarik menayangkan Prabowo Subianto. Siapa pemenangnya? Sepertinya tidak ada, kini TV One mendapat imej sebagai TV Prabowo dan Metro Tv sebagai Tv Jokowi. Jika mencari kebaikan Jokowi lihatlah Metro Tv dan Ingin tahu kelemahannya, tontonlah Tv One. Demikian juga halnya dengan Prabowo.

Demikianlah persaingan televisi yang Nampak jelas dalam merebut Imej. Terlepas dari siapa yang sukses dan siapa yang gagal, Televisi harus tetap menjaga kredibilitasnya sebagai sumber informasi dan hiburan yang harus bermanfaat bagi masyarakat. Dan sebagai masyarakat sekaligus pemirsa televisi pandai-pandailah memilih dan memilih program televisi yang layak untuk ditonton. Karena tak semua sajian televisi itu aman dan rasional, namanya juga rekayasa kan? Salam Cerdas!

image source : http://suara.com/media/2014/05/shutterstock_129961667-846x475.jpg

Monday, August 24, 2015

Lalu Lintas Lancar, Polantas harus bisa menjadi Sutradara Lalu Lintas dan Merevolusi mental ‘Masa Bodoh’ Masyarakat!

Aksi Polantas di Jalan Raya/kompas.com

Kemacetan memang sudah menjadi persoalan klasik yang sejak lama menjadi salah satu faktor ketidaknyamanan di Ibukota. Seiring perkembangan zaman, Jakarta sebagai kota sentral pembangunan di Indonesia begitu dinamis dan selalu berubah mengikuti tren. Sebagai salah satu kota metropolitan, Jakarta begitu padat dengan manusia diikuti segala aktivitasnya. Pembangunan Infrastruktur pun tak henti-hentinya dicanangkan. Sebagai pusat ekonomi, berbagai perusahaan domestik hingga luar negeri seakan berlomba untuk memiliki perkantoran di ibukota. Padatnya pembangunan infrastruktur ditambah penghuni Jakarta yang selalu bertambah membuat Ibukota terasa sempit dan sesak. Belum lagi kepemilikan angkutan pribadi yang begitu mudah di Negara ini semakin memperburuk wajah lalu lintas di Jakarta. Sudah sesak dengan gedung-gedung yang tidak berhenti pembangunannya, lalu lintas masih dipenuhi beraneka ragam mobil, bus kota, Kopaja, Trans Jakarta, sepeda motor dan masih banyak lagi. Alhasil mobilitas menjadi sangat susah, Kemacetan semakin lama semakin buruk saja. Simpul-simpul kemacetan tak hanya di titik-titik tertentu saja, namun sudah mengepung di sepanjang jalan ketika jam sibuk (Pagi dan sore hari). Polisi lalu lintas sebagai hakim yang bertanggungjawab menertibkan lalu lintas belakangan menjadi bulan-bulanan objek yang disalahkan akan ketidaknyamanan ini. Di lain pihak masyarakat pengguna jalan justru memilih bungkam dan menerima keadaan Jakarta yang dianggap sebagai imbas dari kemajuan Zaman. Akhirnya kemacetan jadi dianggap tradisi yang tidak akan pernah mendapat solusi.

Berbicara mengenai Solusi, sebenarnya bukan sedikit kebijakan yang telah dibuat untuk menerangi persoalan kemacetan Jakarta. Sebut saja, barisan Polantas yang siaga di berbagai pos di jalan-jalan yang rawan macet dan kecelakaan. Ada pula NTMC Polri yang menjadi pusat kendali informasi lalu litas untuk memonitoring sejumlah titik-titik rawan dengan secara real time mengakumulasi data dari CCTV yang di pasang di titik tersebut. Dengan berintegrasi kepada Polri, Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Perindustrian dan Riset & Teknologi, NTMC tentu saja seharusnya mampu memberikan data akurat tentang kondisi jalanan yang bisa digunakan untuk antisipasi persoalan lalu lintas. Bahkan dari Pemerintah sendiri telah mencanangkan busway terintegrasi TransJakarta dengan kualitas yang nyaman dan memiliki jalur tersendiri agar terbebas dari kemacetan guna menjadikannya alternative utama masyarakat dalam bepergian. Sayang semua itu tak cukup untuk membendung kemacetan di Ibukota. Apa kelemahannya? Apa kebijakan-kebijakan ini memang benar-benar tidak memiliki kelebihan yang harusnya solutif?

Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya Solutif. Kurang brilian apa layanan NTMC, siaga polisi di pos-pos hingga penyediaan layanan transportasi massa yang nyaman dengan jalur pribadi. Tetapi kembali lagi, apakah kebijakan ini dilakukan maksimal? Layanan Trans Jakarta misalnya, apa mampu menjawab kebutuhan transportasi warga yang selalu terkejar waktu? Apa bebas dari kemacetan dan jalurnya benar-benar dipatuhi? Nah ini yang perlu dibenahi dan ditegaskan kembali. Ketika transportasi massa sudah menjadi pilihan utama, maka Polisi mungkin akan lebih ringan tugasnya karena volume mobil pribadi hingga motor di jalan raya akan berkurang. Hal kecil yang juga mungkin bisa diterapkan adalah dengan tidak mengizinkan anak sekolah menyetir sendiri ke sekolahnya. Sehingga sedikit lebih mengurangi volume kendaraan di jalan raya. Alternative lain dengan mengundi jam terbang pengguna mobil pribadi di jalan raya. Sebut saja, dengan mengkotak-kotakkan kendaraan yang bisa keluar di hari hari tertentu berdasarkan warna atau tipe. Dengan menaikkan pajak kepemilikan kendaraan pribadi juga akan ampuh untuk masyarakat mempertimbangkan sebelum membeli kendaraan pribadi. Jika BBM naik, masyarakat protes maka tidak akan berlaku bila pajak kepemilikan kendaraan pribadi dilakukan.

Jika tidak, populasi masyarakat yang lebih memilih memiliki alat transportasi pribadi akan terus meningkat. Belum lagi, prosedur pembelian mobil di Indonesia begitu mudah asal memiliki Uang saja maka bisa memiliki berapa mobilpun tanpa batasan. Tak heran, perusahaan otomotif berlomba ekspansi bisnis di Negara ini. Jadinya kemacetan ini berakar dari dulu, Transportasi massa tak bisa diandalkan akhirnya masyarakat berlomba membeli alat transportasi pribadi, perusahaan otomotif berlomba menjual produk di Indonesia dengan harga terjangkau, Jalanan pun sesak dan peraturan pemerintah hanya ‘angin lalu’. Semua berlomba cepat dan saling adu keras di jalanan. Jadilah Lalu lintas tak hanya macet namun kadang menimbulkan perkelahian. Poinnya adalah kesadaran masyarakat juga menjadi faktor aktif yang harusnya mampu mengurangi kemacetan. Buruknya, hingga sekarang masyarakat pengguna jalan raya lebih sering merasa ‘masa bodoh’ dengan kemacetan tersebut. Hingga tak ada perkembangan positif dari persoalan lalu lintas Jakarta.

Di sinilah perlu peranan polisi untuk tidak hanya mengawasi namun mampu merangkul dan mengedukasi para pengguna jalan. Dimulai dari penerbitan SIM (Surat Izin Mengemudi) yang menjadi wewenang Kepolisian. Sebagai pemeberi ijin menggunakan jalan raya, Polisi harus benar-benar mengasah pengetahuan hingga mental calon pengemudi. Jangan dengan mudah memberikan SIM hanya dengan pertimbangan skill. Tetapi harus lulus pula secara mental. Sebelumnya Polisi juga mungkin perlu membuat aturan keras mencabut SIM apabila pengguna tercatat malanggar lalu lintas atau mengakibatkan kecelakaan. Sebagai hakim di jalanan, Polisi jangan hanya memberikan tilang saja ketika menjumpai pelanggar lalu lintas. Namun perlu mengumpulkan mereka untuk mengedukasinya di kantor agar jera dan tidak mengulanginya lagi. Tak hanya hakim jalan raya, Polisi juga harus mampu menciptakan citra pelopor ketertiban berlalulintas. Jadi tak kurang, Polantas harus mampu memberikan training atau pelatihan bagi para pelanggar lalu lintas.

Singkatnya, Polantas harus bisa tampil sebagai hero yang bisa diandalkan masyarakat. Tak hanya sebagai pemberi kartu kuning atau kartu merah, Polantas juga harus mampu turun tangan membantu masyarakat ketika memerlukan bantuan sebut saja mobil/motor mogok di jalan karena akan turut menyumbang kemacetan. Jadi jangan terlalu bersikap bossy dengan duduk di pos-pos dan melihat saja. Dengan berhasil mengambil simpati masyarakat pengguna jalan, maka polisi juga secara otomatis akan dipatuhi dan disegani bukan ditakuti. Di zaman serba internet dan media sosial ini, polisi juga memungkinkan untuk mengadakan kampanye massif demi ketertiban lalu lintas di media sosial pasti akan lebih efektif. Intinya, Polisi harus bisa menjadi ‘hakim’ dan teman bagi pengguna jalan. Dengan hubungan dan citra yang baik dengan masyarakat, kita percaya maka masyarakat akan mendengar dan mematuhi apapun kebijakan Polantas untuk ketertiban bersama. Dengan aksi-aksi tersebut Polisi akan menjadi sutradara yang baik untuk menciptakan rekayasa lalu lintas yang tertib.
Ilustrasi Polantas/Liputan6.com


Kemacetan Jakarta memang bukan persoalan mencari kambing hitam. Siapa yang salah dan siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Kemacetan lalu lintas seyogyanyanya menjadi tugas bersama yang harus diatasi bersama pula. Masyarakat menjadi objek yang diawasi seharusnya lebih sadar dan saling mengingatkan apabila rekannya melanggar lalu lintas bukan malah mengikutinya. Semua orang pasti ingin memanfaatkan waktunya dengan maksimal, tak ada satupun orang yang ingin berlama-lama terjebak dalam kemacetan. Untuk itu masyarakat pengguna jalan raya harus saling perduli dan meredam ego masing-masing. Selanjutnya Polisi sebagai subjek yang mengawasi ketertiban lalu lintas harus mampu professional, tegas dan humanis tentunya. Selain menghukum pelanggar, polisi harus tetap membuat imejnya menjadi personal yang dekat dan ramah dengan masyarakat. Kita tahu Polantas memang bukan manusia sempurna yang bisa mengatasi semuanya, kekuatan mereka juga tentunya terbatas dalam mengatasi kemacetan. Namun bukan berarti Polantas tak memiliki kekuatan atau power dalam menertibkan jalan raya. Semoga saja Polantas semakin disegani dan mampu menjadi hakim lalu lintas yang disegani dan dicintai oleh pengguna jalan raya. Selamat Hari jadi ke-60 Polisi lalu lintas Indonesia. Jaya selalu sesuai slogan Polri: Menuju Indonesia tertib,Bersatu, keselamatan Nomor Satu!